PENDIDIKAN
BAB
I
PENDAHULUAN
a. Latar belakang masalah
Pendidikan sebagai proses pemanusiaan
manusia membutuhkan sinergi antar komponen dan membutuhkan kesepahaman visi
seluruh stake holder yang terlibat. Komponen pendidikan yang meliputi raw
material (input siswa) , tools (alat-alat dan sarana prasarana), serta process
(metode pembelajaran) adalah sebuah sistem yang akan menentukan kualitas out
put (lulusan), sedangkan stake holder yang terdiri atas siswa, guru, kepala
sekolah, wali murid, dinas terkait dan pemerintah daerah harus sevisi dan
sinergi sehingga memperlancar dan mempermudah pencapaian tujuan baik tujuan
akademis maupun pembentukan moral.
Kualitas pendidikan di Indonesia saat ini dinilai banyak pihak belum berkualitas, sebagai indikatornya adalah kualitas Human Development Index (Indeks Kualitas Manusia) berada di bawah negara-negara Asia Tenggara lainnya seperti Singgapura, Thailand, bahkan Vietnam. Ada beberapa faktor penyebab rendahnya kualitas pendidikan di tanah air antara lain: proses pembelajaran belum memperoleh perhatian optimal, guru lebih banyak bekerja sendirian, forum MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) belum berfungsi optimal, sekolah belum menjadi pusat belajar bagi guru. Berdasar UU No 14 Tahun 2005 guru dituntut untuk profesional. Indikator keprofesionalan guru mencakup empat hal yakni kompetensi pedagogik, kompetensi profesional, kompetensi kepribadian, dan kompetensi sosial.Untuk mencapai keempat kompetensi tersebut selama ini ditempuh secara konvensional yakni melalui diklat dan penataran. Akan tetapi model konvensional tersebut belum menunjukkan hasil yang optimal karena materi penataran akan dilupakan begitu saja setelah sampai di sekolah.
b. Rumusan masalah
Bukan hal yang asing, bila kita
seringkali mendengar semboyan ini: Pendidikan adalah tanggung jawab bersama
antara pemerintah, orang tua, dan masyarakat. Dalam hal ini kita akan membahas
peran serta ketiganya, yaitu:
a. Peranan pemerintah dalam pendidikan
b. Peranan keluarga dalam pendidikan
c. Peranan masyarakat dalam pendidikan
d.Tujuan
Tujuan makalah ini untuk mengetahui
sejauh mana peran serta pemerintah, keluarga, dan masyarakat dalam proses
pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan Pemerintah Dalam Pendidikan
Undang-undang BHP bisa menjadi
landasan bagi pemerintah untuk melepaskan diri dari tanggung jawabnya terhadap
pembiayaan pendidikan. Sebagaimana diatur dalam UU tersebut lembaga pendidikan
yang berstatus badan hukum pendidikan (BHP) harus menanggung seluruh biaya
operasional sendiri tanpa subsidi dari negara. UU BHP ini dibuat hanya untuk
mengalihkan tanggung jawab pemerintah dari besarnya biaya pendidikan.
Ditambahkan, dengan berlakunya UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan,
potensi meningkatnya biaya pendidikan yang harus ditanggung orang tua dan peserta
didik cukup terbuka. Pasalnya, dalam pasal 41 ayat 7 disebutkan bahwa peserta
didik yang ikut menanggung biaya penyelenggaraan pendidikan harus menanggung
biaya tersebut sesuai dengan kemampuan peserta didik, orang tua atau pihak yang
bertanggung jawab membiayainya. UU BHP juga mengatur pembatasan kuota bagi
pelajar berprestasi yang berhak memperoleh beasiswa pendidikan, yakni sebesar
20% dari total jumlah peserta didik pada sebuah lembaga pendidikan yang
berstatus badan hukum. “Pemerintah memang tidak melepas (tanggung jawabnya)
langsung, namun bantuan yang diberikan hanya untuk kuota 20%, diluar kuota itu
pemerintah tidak bertanggung jawab atas pendidikan rakyatnya,”
Pendidikan nasional yang mampu mencerdaskan kehidupan bangsa adalah pendidikan yang bermakna proses pembudayaan. Pendidikan yang demikian akan dapat memajukan kebudayaan nasional Indonesia . Dalam pembukaan UUD 1945, jelas tertera bahwa tujuan pendirian negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan tumpah darah Indonesia, serta memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Dari kutipan tersebut, nampak jelas bahwa pemerintah negara republik adalah pemerintah yang menurut deklarasi kemerdekaan harus secara aktif melaksanakan misi tersebut. Di antaranya, dengan memajukan kesejahateraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Lalu bagaimana tanggung jawab pemerintah dalam pembiayaan pendidikan di Indonesia? Sejak jaman Orde Baru, ketentuan pasal 31 UUD 1945 terutama ayat 2, mulai ditinggalkan. Mulai lahir doktrin baru bahwa penyelenggaraan pendidikan dalam arti pembiayaan adalah tanggung jawab bersama antara pemerintah, masyarakat, dan orang tua. Sejak saat itu masuk SD pun dikenakan SPP atau membayar. Sedangkan sebelumnya masuk Universitas Negeri pun hampir tak membayar. Pada periode Orde Lama --walau keadaan ekonomi belum berkembang-- setiap universitas negeri malah dilengkapi dengan perumahan dosen dan asrama mahasiswa. Pelajar dan mahasiswa calon guru juga diberi ikatan dinas. Semuanya dilakukan karena para pendiri republik masih memimpin. Pemerintah negara saat itu memahami makna yang terkandung dalam pembukaan dan pasal-pasal UUD 1945 terutama pasal 31. Atas kenyataan itu, MPR RI berupaya mempertegas makna yang terkandung dalam pasal 31 UUD 1945 dengan mengamandemen menjadi 5 ayat. Salah satu isinya adalah setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
KOMPONEN
BEAYA PENDIDIKAN
BEAYA PENDIDIKAN
Pasal
3, Pasal 4, dan Pasal 5 menguraikan secara terperinci mengenai definisi dan
komponen beaya pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintah dialokasikan
dalam APBN dan yang merupakan tanggung jawab pemerintah daerah dialokasikan
dalam APBD sesuai dengan sistem penganggaran dalam peraturan
perundang-undangan.
Adapun
komponen beaya pendidikan adalah beaya satuan pendidikan, beaya penyelenggaraan
dan/atau pengelolaan pendidikan dan beaya pribadi peserta didik.
TANGGUNG
JAWAB
PEMERINTAH
Tanggung
jawab pendanaan pendidikan oleh pemerintah dan pemerintah daerah sebagaimana
diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 31 meliputi beaya investasi satuan
pendidikan, beaya investasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan,
beaya operasi satuan pendidikan, beaya operasi penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan, bantuan beaya pendidikan dan beasiswa serta pendanaan
pendidikan di luar negeri.
Beaya
Investasi satuan pendidikan dan beaya investasi penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintah akan meliputi
beaya investasi lahan pendidikan dan beaya investasi selain lahan pendidikan.
Sedang beaya operasi satuan pendidikan dan beaya operasi penyelenggaraan
dan/atau pengelolaan pendidikan yang merupakan tanggung jawab pemerintah akan
meliputi beaya personalia dan beaya non-personalia.Demikian pula dengan bantuan
beaya, beasiswa dan pendanaan pendidikan diluar negeri semuanya diatur dengan
jelas dalam peraturan pemerintah nomor 48 tahun 2008 dengan disertai dengan
ancaman pengenaan sangsi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
TANGGUNG
JAWAB
MASYARAKAT
Tanggung
jawab masyarakat dalam pendanaan pendidikan dapat dibagi dalam 2 (dua)
katagori, yaitu tanggung jawab pendanaan pendidikan oleh penyelenggara atau
satuan pendidikan yang didirikan masyarakat dan tanggung jawab pendanaan
pendidikan oleh masyarakat diluar penyelenggara dan satuan pendidikan yang
didirikan masyarakat. Komponen beaya pendidikan pada penyelenggara atau satuan
pendidikan yang didirikan masyarakat akan meliputi beaya investasi satuan
pendidikan, beaya investasi penyelenggaraan dan/atau pengelolaan pendidikan,
beaya operasi satuan pendidikan, beaya operasi penyelenggaraan dan/atau
pengelolaan pendidikan, bantuan beaya pendidikan dan beasiswa.
Sedangkan
tanggung jawab masyarakat diluar penyelenggara satuan pendidikan yang didirikan
masyarakat atau dengan kata lain tanggung jawab masyarakat selaku orangtua atau
wali peserta didik akan meliputi beaya pribadi peserta didik, beaya investasi
selain lahan yang diperlukan untuk menutupi kekurangan pendanaan, beaya
personalia yang diperlukan untuk menutupi kekurangan pendanaan dan pendanaan
sebagian dari beaya operasi pendidikan dalam rangka pengembangan sekolah yang
biasanya dipungut berdasarkan musyawarah dan mufakat melalui Komite Sekolah.
Hal lainnya, pemerintah diminta mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional. Aspek lainnya, negara diminta memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 %.
B. Peranan Keluarga Dalam Pendidikan
Oleh Saiful Arif pada 8 September 2010
Keluarga adalah institusi yang sangat
berperan dalam rangka melakukan sosialisasi, bahkan internalisasi, nilai-nilai
pendidikan. Meskipun jumlah institusi pendidikan formal dari tingkat dasar
sampai ke jenjang yang paling tinggi semakin hari semakin banyak, namun peran
keluarga dalam transformasi nilai edukatif ini tetap tidak tergantikan.
keluarga merupakan tempat pertumbuhan anak yang pertama di mana dia mendapatkan
pengaruh dari anggota-anggotanya pada masa yang amat penting dan paling kritis
dalam pendidikan anak, yaitu tahun - tahun pertama dalam kehidupanya (usia
prasekolah). Sebab pada masa tersebut apa yang ditanamkan dalam diri anak akan
sangat membekas, sehingga tak mudah hilang atau berubah sudahnya. Dari sini,
keluarga mempunyai peranan besar dalam pembangunan masyarakat. Karena keluarga
merupakan batu pondasi bangunan masyarakat dan tempat pembinaan pertama untuk
mencetak dan mempersiapkan personil - personilnya.
Karena itulah, peran keluarga dalam hal ini begitu berarti.
Bahkan bisa dikatakan bahwa tanpa keluarga, nilai-nilai pengetahuan yang
didapatkan di bangku meja formal tidak akan ada artinya sama sekali. Sekilas
memang tampak bahwa peran keluarga tidak begitu ada artinya, namun jika
direnungkan lebih dalam, siapa saja akan bisa merasakan betapa berat peran yang
disandang keluarga.
Problem yang dialami oleh ‘anak
jalanan’ untuk memperoleh pendidikan salah satunya adalah minimnya, bahkan tak
adanya peran keluarga. Kalaupun akhirnya mereka bersekolah, mereka hanya mendapatkan
pengetahuan formal saja. Sementara kasih sayang, sopan santun, moralitas, cinta
dan berbagai nilai afektif lainnya sulit mereka dapatkan. Mereka merasa tidak
ada tempat yang baik untuk berlindung dan mengungkapkan seluruh perasaan secara
utuh dan bebas. Umumnya mereka tidak memiliki keluarga yang mengemban peran
tersebut. Kalaupun mereka memiliki keluarga, tidak ada situasi yang kondusif
untuk saling berbagi perasaan antar anggota dalam sebuah keluarga. Ini
merupakan salah satu kesulitan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga swadaya
masyarakat yang mencoba memberdayakan ‘anak jalanan’. Mungkin persoalan
sulitnya bagaimana dia mendapatkan pendidikan secara formal, tidak sesulit
bagaimana dia memperoleh kasih sayang sejati.
Dari paparan itu kita bisa mengerti betapa peran penting
keluarga dalam rangka mengemban misi-misi pendidikan tidak bisa diabaikan. Di
dalam keluarga tercermin jalinan kasih dan cinta dalam ikatan emosional, darah
dan kekerabatan sangat mendominasi. Dengan demikian, keluarga merupakan cetak
biru (blue print) akan menjadi apa seorang anak kelak. Sebagian orang secara
tidak sadar mengatakan bahwa sebenarnya peran keluarga adalah sekunder, alias
hanya menjadi pelengkap saja. Sebab pengetahuan formal sudah mereka dapatkan di
bangku sekolahan. Logika ini tidak saja keliru secara etis, tapi juga patut
dipertanyakan pula pandangan moralnya terhadap keluarga. Yang logis, keluarga
justru merupakan institusi pendidikan pertama dan utama, kemudian baru
dilengkapi dengan nilai-nilai pengetahuan yang didapatkan dari bangku
sekolahan.
C. Peranan masyarakat dalam pendidikan
Meningkatkan Peran Serta Masyarakat
(PSM) memang sangat erat berkait dengan pengubahan cara pandang masyarakat
terhadap pendidikan. Ini tentu saja bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Akan
tetapi, bila tidak sekarang dilakukan dan dimulai, kapan rasa memiliki,
kepedulian, keterlibatan, dan peran serta aktif masyarakat dengan tingkatan
maksimal dapat diperoleh dunia pendidikan.
Ada 7 tingkatan peran serta masyarakat (dirinci dari
tingkat partisipasi terendah ke tinggi), yaitu:
1. Peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Jenis PSM ini adalah jenis yang paling umum (ironisnya dunia pendidikan kita!). Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka.
1. Peran serta dengan menggunakan jasa pelayanan yang tersedia. Jenis PSM ini adalah jenis yang paling umum (ironisnya dunia pendidikan kita!). Pada tingkatan ini masyarakat hanya memanfaatkan jasa sekolah untuk mendidik anak-anak mereka.
2. Peran serta dengan memberikan kontribusi dana, bahan,
dan tenaga. Pada PSM jenis ini masyarakat berpartisipasi dalam perawatan dan
pembangunan fisik sekolah dengan menyumbangkan dana, barang, atau tenaga.
3. Peran serta secara pasif. Masyarakat dalam tingkatan
ini menyetujui dan menerima apa yang diputuskan pihak sekolah (komite sekolah),
misalnya komite sekolah memutuskan agar orang tua membayar iuran bagi anaknya
yang bersekolah dan orang tua menerima keputusan itu dengan mematuhinya.
4. Peran serta melalui adanya konsultasi. Pada tingkatan
ini, orang tua datang ke sekolah untuk berkonsultasi tentang masalah
pembelajaran yang dialami anaknya.
5. Peran serta dalam pelayanan. Orang tua/masyakarat
terlibat dalam kegiatan sekolah, misalnya orang tua ikut membantu sekolah
ketika ada studi tur, pramuka, kegiatan keagamaan, dsb.
6. Peran serta sebagai pelaksana kegiatan. Misalnya
sekolah meminta orang tua/masyarakat untuk memberikan penyuluhan pentingnya
pendidikan, masalah jender, gizi, dsb. Dapat pula misalnya, berpartisipasi
dalam mencatat anak usia sekolah di lingkungannya agar sekolah dapat
menampungnya, menjadi nara sumber, guru bantu, dsb.
7. Peran serta dalam pengambilan keputusan. Orang
tua/masyarakat terlibat dalam pembahasan masalah pendidikan baik akademis
maupun non akademis, dan ikut dalam proses pengambilan keputusan dalam Rencana
Pengembangan Sekolah (RPS).
Pada saat di mana suatu program pembangunan didominasi oleh
peran pemerintah dan peran masyarakat lemah, maka masyarakat lalu hanya
ditempatkan sebagai saluran mempercepat program-program pembangunan itu.
Sebaliknya, apabila kemudian peran masyarakat kuat dan ditempatkan sebagai
subjek, maka akan bermakna sebagai upaya pemberdayaan atau penguatan masyarakat,
baik secara institusional maupun perseorangan anggota masyarakat (Karsidi,
2002).
Penguatan masyarakat secara
institusional bisa diartikan sebagai pengelompokan anggota masyarakat sebagai
warga negara mandiri yang dapat dengan bebas dan egaliter bertindak aktif dalam
wacana dan praksis mengenai segala hal yang berkaitan dengan masalah
kemasyarakatan pada umumnya. Termasuk di dalamnya adalah jejaring,
pengelompokan sosial yang mencakup mulai dari rumah tangga (household),
organisasi - organisasi sukarela (termasuk partai politik), sampai organisasi -
organisasi yang mungkin pada awalnya dibentuk oleh negara, tetapi melayani
kepentingan masyarakat yaitu sebagai perantara dari negara di satu pihak dengan
individu dan masyarakat di pihak lain (Hikam, 1993).
Belajar dari pengalaman bahwa ketika peran pemerintah sangat
dominan dan peranserta masyarakat hanya dipandang sebagai kewajiban, maka
masyarakat justru akan terpinggirkan dari proses pembangunan itu sendiri.
Penguatan partisipasi masyarakat haruslah menjadi bagian dari agenda
pembangunan itu sendiri, lebih-lebih dalam era globalisasi. Peranserta
masyarakat harus lebih dimaknai sebagai hak daripada sekadar kewajiban. Kontrol
rakyat (anggota masyarakat) terhadap isi dan prioritas agenda pengambilan
keputusan pembangunan harus dimaknai sebagai hak masyarakat untuk ikut
mengontrol agenda dan urutan prioritas pembangunan untuk dirinya atau
kelompoknya. Oleh karena itu, tidak akan dapat diterima jika satu golongan
mendiktekan keinginan dan kepentingannya dalam isi dan prioritas agenda
pengambilan keputusan pembangunan, apakah itu golongan di dalam negeri seperti
pejabat pemerintah atau usahawan, dan eksternal seperti kekuatan besar misalnya
lembaga (keuangan) internasional (Karsidi, 2002).
Dalam hal apa saja seharusnya mereka
berpartisipasi? Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa tanggung jawab
pengembangan pendidikan sebagai proses sosialisasi adalah berada pada orang tua
dan kelompok-kelompok masyarakat yang berkepentingan. Tanggung jawab tersebut
tidak pernah lepas tetapi pernah mengendor, sejalan dengan dominannya paradigma
pembangunan sentralistik. Oleh karena paradigma tersebut telah bergeser menuju
kepada peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya kembali partisipasi
masyarakat, maka perlu segera dilakukan upaya pemulihan dan pengembalian
tanggung jawab masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam skala
mikro maupun skala makro. Inilah yang saya sebut sebagai reaktualisasi
partisipasi masyarakat, karena sebenarnya yang bertanggung jawab dalam hal ini
adalah justru masyarakat itu sendiri. Mengacu pada lingkup partisipasi
masyarakat, maka dalam pengembangan pendidikan, masyarakat harus dilibatkan
sejak dari proses perencanaan, pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya.
Program-program pembelajaran di sekolah berupa desain kurikulum dan pelaksanaannya, kegiatan-kegiatan nonkurikuler sampai pada pengadaan kebutuhan sumber daya untuk suatu sekolah agar dapat berjalan lancar, tampaknya harus sudah mulai diberikan ruang partisipasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan. Demikian pula di lembaga-lembaga pendidikan lainnya nonsekolah, ruang partisipasi tersebut harus dibuka lebar agar tanggung jawab pengembangan pendidikan tidak tertumpu pada lembaga pendidikan itu sendiri, lebih-lebih pada pemerintah sebagai penyelenggara negara.
Cara untuk penyaluran partisipasi dapat diciptakan dengan berbagai variasi cara sesuai dengan kondisi masing-masing wilayah atau komunitas tempat masyarakat dan lembaga pendidikan itu berada. Kondisi ini menuntut kesigapan para pemegang kebijakan dan manajer pendidikan untuk mendistribusi peran dan kekuasaannya agar bisa menampung sumbangan partisipasi masyarakat. Sebaliknya, dari pihak masyarakat (termasuk orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat) juga harus belajar untuk kemudian bisa memiliki kemauan dan kemampuan berpartisipasi dalam pengembangan pendidikan.
Sebagai contoh adalah tanggung jawab
untuk menghasilkan output yang baik sesuai dengan rumusan harapan bersama.
Demikian juga kelompokkelompok masyarakat lain, termasuk orang tua siswa.
Dengan cara demikian, maka mutu pendidikan suatu lembaga pendidikan menjadi
tanggung jawab bersama antara lembaga pendidikan dan komponen-komponen lainnya
di masyarakat tersebut.
Bagaimana dengan tanggungjawab negara
terhadap pengembangan pendidikan? Uraian di atas bukan bermaksud untuk
mengurangi tanggung jawab pemerintah sebagai penyelenggara negara dalam bidang
pendidikan. Sebagaimana diamanatkan oleh UU Sisdiknas, 2003 bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah berhak mengarahkan, membimbing, membantu, dan mengawasi
penyelenggaraan pendidikan, serta berkewajiban memberikan layanan dan kemudahan
penyelenggaraan pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa
diskriminasi. Pemerintah dan pemerintah daerah juga wajib menjamin tersedianya
dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara dari usia tujuh
sampai usia lima belas tahun. Lebih dari itu, sebenarnya peluang bagi orang
tua/warga dan kelompok masyarakat masih sangatlah luas.
Untuk itu, maka dalam kondisi kualitas
layanan dan output pendidikan sedang banyak dipertanyakan mutu dan
relevansinya, maka pemerintah seharusnya memberikan peluang yang luas bagi
partisipasi masyarakat. Lebih dari itu, pemerintah perlu menyusun mekanisme
sehingga orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat dapat berpartisipasi secara
optimal dalam pengembangan pendidikan di Indonesia.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
1. Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama pembangunan (dalam bidang pendidikan) hanya terletak di tangan pemerintah, menyebabkan masyarakat merasa hanya ditempatkan sebagai “bukan pemain utama” dan berakibat melemahkan kemauan berpartisipasi warga dan kelompok - kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Kondisi ini telah merugikan pengembangan pendidikan itu sendiri dan semakin memberatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara.
1. Adanya opini masyarakat bahwa tanggung jawab utama pembangunan (dalam bidang pendidikan) hanya terletak di tangan pemerintah, menyebabkan masyarakat merasa hanya ditempatkan sebagai “bukan pemain utama” dan berakibat melemahkan kemauan berpartisipasi warga dan kelompok - kelompok masyarakat dalam pengembangan pendidikan. Kondisi ini telah merugikan pengembangan pendidikan itu sendiri dan semakin memberatkan pemerintah sebagai penyelenggara negara.
2. Perkembangan teknologi (terutama di bidang teknologi
informasi) menyebabkan peranan sekolah sebagai lembaga pendidikan mulai
bergeser. Di kemudian hari sekolah tidak lagi akan menjadi satu-satunya pusat
pembelajaran karena aktivitas belajar tidak lagi terbatasi oleh ruang dan
waktu. Peran guru juga tidak akan menjadi satu-satunya sumber belajar karena
banyak sumber belajar dan sumber informasi yang mampu memfasilitasi seseorang
untuk belajar. Peranan orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat menjadi
sangat penting untuk mengisi kekosongan peran yang tidak lagi mampu diambil
oleh sekolah/lembaga pendidikan.
3. Bergesernya paradigma pembangunan sentralistik ke
desentralistik telah membuka peluang yang lebar bagi teraktualisasikannya
kembali partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan.
4.Orang tua dan kelompok-kelompok masyarakat harus
dilibatkan dalam pengembangan pendidikan sejak dari proses perencanaan,
pelaksanaan, pemanfaatan hasil dan evaluasinya.
5. Media dan forum yang dapat dimanfaatkan untuk
penyaluran partisipasi masyarakat dalam pengembangan pendidikan antara lain
adalah media musyawarah dan pembentukan institusi masyarakat yang mampu
menampung aspirasi masyarakat, terutama di wilayah atau komunitas tempat
sekolah/lembaga pendidikan berada.
6. Diperlukan adanya peraturan perundangan yang mengatur
mekanisme partisipasi masyarakat terhadap pengembangan pendidikan baik dalam
skala nasional, daerah, maupun tingkat penyelenggara pendidikan.
DAFTAR PUSTAKA
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Khaerudin dan Mahfud Junaedi, KTSP untuk Madrasah, Yogyakarta: Pilar Media, 2007
Paulinna Pannen, Konstruktivisme dalam Pembelajaran, Jakarta: UT, . 2001
Sumar Hendiyana, Makalah dalam KGI, 2008
Suwarsih Madya, Penelitian Tindakan Kelas, Yogyakarta: IKIP Yogyakarta, 1994
Io,.. sama2 gan,.
BalasHapusdan terima kasih atas komentarnya,.
kau juga bagus tu gan,.
ntr kapan2 sy bisa mesan tiket ia gan ama kau,.
baleh tih,. :)